TEMPO.CO, Jakarta - Duo mahasiswi ini Mathilda Dwi Lestari dan Fransiska Dimitri merupakan pendaki perempuan pertama dari Indonesia yang melakukan ekspedisi ke tujuh puncak tertinggi dunia alias seven summits. Pendakian mereka berawal di Gunung Carstensz, Papua, pada 2014. Setelah itu, empat atap dunia lainnya mereka daki dan menyisakan puncak Denali di Alaska dan Everest di Nepal.
Senin lalu, keduanya berangkat untuk mendaki Gunung Denali yang menjulang setinggi 6.190 meter di atas permukaan laut. Sebelumnya, pada awal Januari 2017, dua anggota kelompok mahasiswa pencinta alam, Mahitala Universitas Parahyangan, Bandung, itu mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Vinson Massif (4.892 meter).
"Ini pendakian pertama pendaki perempuan dari Indonesia. Jika berhasil, kami bangga bisa membawa nama Indonesia di dunia," ujar Fransiska. Pada Sabtu sore pekan lalu, dua srikandi ini menerima wartawan Tempo, Aisha Shaidra. Berikut ini petikan wawancaranya.
Apa yang unik dari pendakian Denali?
Fransiska: Tantangan di Denali ini, pertama, kami harus membawa beban seberat 40 kilogram sendiri karena tak ada jasa porter. Kedua, waktu operasionalnya juga lama, sekitar 2,5 pekan, sehingga logistiknya banyak dan semua harus kami bawa sendiri.
Mathilda: Berbeda dengan persiapan pendakian di gunung sebelumnya, kami sekarang berlatih membawa ransel dan menarik ban karena di Denali harus bawa ransel dan sled (kereta luncur) buat narik barang. Selebihnya, seperti latihan fisik, masih sama. Kami lari, naik-turun gunung, bawa ransel, berenang, dan yoga biar tenang. Tapi intensitas dan targetnya lebih ditinggikan. Kali ini tuntutan fisiknya berat banget.
Bagaimana mengatur ritme latihan?
Fransiska: Setiap pendakian satu gunung itu sekaligus menjadi persiapan untuk mendaki gunung berikutnya. Latihan mendaki Denali secara spesifik kami mulai pada Maret lalu. Selama jeda dari pulang akhir Januari sampai awal Februari, kami diberi waktu untuk istirahat, wawancara, setelah itu kembali mengatur program selanjutnya.
Mathilda: Dua pekan sebelum keberangkatan tetap berolahraga, tapi intensitasnya dikurangi. Fase olahraganya dari yang umum, cardio saja. Tapi, empat bulan sebelumnya, latihan yang spesifik sesuai kebutuhan gunung. Sebulan sebelum berangkat sudah tapering (mengurangi frekuensi) untuk menghindari cedera dan agar ototnya enggak kecapekan.Fransiska Dimitri (kanan) dan Mathidla Dwi Lestari di puncak Antartika Vinson Masif, Januari 2017 (Foto dokumentasi Women of Indonesia's Seven Summits Expedition)
Kalian perempuan pertama yang mendaki tujuh gunung. Di mana mencari referensi?
Fransiska: Orang Indonesia belum banyak yang menjadi seven summiteers (sebutan untuk pendaki puncak dunia) baru delapan orang, dan laki-laki semua. Kami yang perempuan ini baru pertama kali sehingga belum punya rumusannya. Kami benar-benar belajar dari pengalaman, juga dibantu para senior.
Mathilda: Di luar negeri mungkin referensinya sudah lebih lengkap, untuk perempuan juga mungkin ada. Tapi, kembali lagi, kondisinya kan beda, medannya beda, fisiknya beda. Jadi kami mengulik sesuai kebutuhannya apa. Kami pelajari karakter gunungnya seperti apa, ada tantangan apa saja, baru bikin program pendakiannya. Lalu menyiapkan alat-alat.
Gunung yang didaki bersuhu minus, bagaimana latihannya?
Mathilda: Makanya, bagi kami, satu gunung sebelumnya itu menjadi tempat latihan untuk mendaki gunung selanjutnya. Kami pernah belajar metode Wim Hof (pria Belanda yang dapat bertahan di suhu dingin ekstrem). Kami belajar mengatur napas dan mengeluarkan panas dari tubuh sendiri, berendam di kolam dengan balok es.
Sumber: https://travel.tempo.co/read/885574/wawancara-dengan-2-perempuan-indonesia-pendaki-seven-summits
There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form, by injected humour, or randomised words which don't look even slightly believable